Oleh : Dr.Andri,SpKJ *
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mungkin setiap hari ada yang selalu bertanya-tanya. Sampai kapan kira-kira ilmuwan akan berhasil menemukan obat penangkal virus yang menggerogoti sistem imunitas tubuh manusia itu?
Pertanyaan tidak berhenti sampai di situ saja, namun berlanjut dengan apa yang telah kita lakukan selama ini dalam upaya untuk mencegah virus ini semakin menyebar. Penyakit AIDS atau yang sekarang lebih dikenal secara lengkap dengan HIV/AIDS sejak mulai marak dibicarakan awal tahun 80-an telah mengalami perkembangan yang pesat. Pesat bukan hanya dalam teknologi pengobatannya, namun juga dalam jumlah penderitanya.
Walaupun sejak 10 tahun belakangan ini telah dikampanyekan dengan hebat tentang cara pencegahan penularan virus ini. Namun, tidak dapat dipungkiri, jumlah penderitanya terutama di negara berkembang sangat banyak. Apalagi sekarang hampir semua lapisan masyarakat punya kerentanan terinfeksi virus ini bila tidak berhati- hati. AIDS merupakan isu global yang tidak kunjung lepas dari perhatian.
Berbagai upaya masyarakat dunia telah dilakukan berkenaan dengan hal ini. Dari penggalangan dana untuk para penderita AIDS, penelitian demi mendapatkan terapi yang paling mujarab, sampai edukasi masyarakat tentang bagaimana bentuk penularan infeksi HIV/AIDS. Semuanya dilakukan dalam upaya untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari infeksi virus ini sendiri.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena penderita HIV-AIDS layaknya sebuah fenomena gunung es. Yang terlihat dan dapat dihitung hanyalah yang di permukaan saja.Angka sebenarnya sampai saat ini tidak ada yang mengetahui pasti.
Pasien HIV-AIDS dan Stigma
Selama ini anggapan kita terhadap penderita HIV/AIDS atau di Indonesia lebih sering disebut ODHA (orang dengan HIV/AIDS) masih dalam lingkup stigmatis. Banyak dari kita menganggap bahwa para ODHA adalah bagian dari masyarakat yang terbuang.
Mereka dianggap layak mendapatkan balasan hukuman atas perilaku mereka sehingga terinfeksi virus HIV. Masyarakat kita menganggap bahwa infeksi HIV disebabkan hubungan seks dengan berganti-ganti pasangan dan pemakaian narkoba dengan jarum suntik yang tidak steril. Orang yang berperilaku demikian sangat pantas mendapat hukuman di dunia ini. Padahal, penderita HIV/AIDS tidak hanya terinfeksi virus ini akibat hal yang disebutkan di atas.
Cara lain seperti transfusi darah dari darah yang mengandung virus HIV dan kecelakaan kerja di rumah sakit atau layanan kesehatan seperti misalnya tertusuk jarum yang terinfeksi HIV juga merupakan cara lain penularan. Belakangan ini, perhatian kita kemudian mulai teralih dengan bertambahnya pasien HIV/AIDS karena tertular dari pasangan hidupnya.
Banyak para istri yang tertular virus ini karena perilaku suaminya yang berhubungan seks dengan pasangan lain secara tidak aman atau tidak menggunakan kondom. Beberapa lagi adalah para istri pengguna narkoba suntik yang biasa berganti-ganti jarum suntik yang tidak steril.
Bahkan,tanpa disadari mereka juga menularkan virus ini pada anak yang dikandungnya lewat persalinan. Keadaan ini sebenarnya bisa dicegah bila saja penderita HIV/AIDS juga mendapatkan informasi yang cukup tentang penyakitnya.
Kekurangan informasi ini akan menyebabkan para penderita tidak menyadari bahwa dirinya sangat berpotensi menularkan virus ini kepada pasangan hidupnya bila tanpa pencegahan. Penyebaran informasi yang terus menerus dan tidak hanya dalam momen-momen peringatan tertentu sangatlah penting.
Sekarang ini kita melihat bahwa banyak lembaga swadaya masyarakat yang ikut aktif dalam usaha ini. Bahkan, beberapa di antaranya dijalankan oleh penderita HIV/AIDS sendiri.
Di sana mereka berperan sebagai konselor demi menolong, setidaknya menjadi tempat berbagi cerita bagi rekan-rekan lain yang juga mengalami hal yang serupa. Penderita HIV-AIDS sendiri sebenarnya sudah direpotkan oleh penyakitnya sendiri tanpa perlu ditambah lagi dengan adanya sikap masyarakat yang stigmatis terhadap mereka.
Bayangkan saja bagi mereka telah menjalani pengobatan, efek samping obat di mana terdapat rasa mual yang sangat, sekali waktu pasti akan membuat mereka berpikir untuk menghentikan pengobatan saja. Belum lagi ditambah dengan penyakit yang mudah datang karena rentannya sistem imunitas tubuh.
Bahkan, kadang penyakit seperti influenza saja dapat membuat pasien HIV/AIDS dirawat di rumah sakit. Bila hal ini ditambah lagi dengan beban mental dari masyarakat, tidak terbayang betapa berat beban saudara-saudara kita yang menderita penyakit ini. Karena bagi mereka, menerima keadaan dirinya menderita virus mematikan ini saja sudah memerlukan usaha dan kelapangan dada yang sangat besar.
Tidak sedikit dari mereka yang tidak mampu menerima keadaan ini sampai akhir hayatnya dan ada beberapa yang mengalami depresi. Untungnya, pengobatan pasien HIV-AIDS telah diupayakan oleh pemerintah dengan adanya obat retroviral gratis bagi para penderita yang dapat diambil di berbagai rumah sakit besar di tiap kota besar. Obat ini didapatkan dengan datang langsung ke bagian tim khusus penanganan HIV-AIDS di rumah sakit berada.
Hal ini tentunya sangat membantu karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk pengobatannya yang memakan waktu panjang dan melelahkan. Pemerintah tentunya memegang peranan yang sangat penting dalam upaya ini, namun sebagai masyarakat kita tentunya juga tidak dapat tinggal diam.
Banyak cara yang dapat kita lakukan untuk membantu penanganan masalah menyeluruh pasien HIV-AIDS. Salah satunya dengan menganggap para penderita sama dengan penderita penyakit biasa yang sama-sama butuh bantuan dan perhatian kita.
* Psikiater, Pengajar Ilmu Psikiatri di FK UKRIDA
Sumber : http://health.kompas.com/read/2011/12/01/08204276/Dukungan.Tak.Henti.untuk.ODHA.